Thursday, December 25, 2014

Masih Adakah Cinta Bahasa Indonesia?

Di artikel sebelumnya kami telah menjelaskan sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia. Dalam artikel kali ini saya akan membahas tentang cinta terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia.  Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi. Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan “Bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya. Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. 

Pesona Bahasa Indonesia kian menarik di mata warga negara asing. Setelah kelas bahasa Indonesia di Mesir dipadati peminat, menyusul pula di Belanda, Austria, Prancis, dan beberapa waktu lalu di Jerman. Ketika warga negara lain berminat mempelajari bahasa Indonesia, rasa bangga menyergap di dada para pengguna bahasa Indonesia. Tetapi rasa bangga itu tidak perlu dipupuk berlebihan agar tidak berubah menjadi mimpi. Menjadikan bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa berkelas international adalah sebuah mimpi panjang yang mungkin suatu waktu nanti bakal terwujud.

Mempelajari salah satu di antara Bahasa Inggris, Arab, atau Cina merupakan keharusan bagi orang-orang yang berorientasi internationalitas. Ketiga bahasa itu, ditambah Bahasa Prancis, Jerman dan Belanda, telah cemerlang di pasar komunikasi transnasional. Kekuatan negara pemilik bahasa menjadi bedak pesona bagi bahasa yang dipakainya. Kekuatan bisa berkaitan dengan superioritas negara dalam bidang teknologi, penguasaan pasar ataupun bidang kepeloporan ilmu pengetahuan. Prancis, Jerman, dan Belanda telah mempelopori kemajuan dialog ilmu pengetahuan baru, sedangkan Cina menjadi raksasa bisnis yang berpotensi menyaingi Amerika Serikat.

Hal di atas berbeda dengan peminat bahasa Indonesia, yang kebanyakan tertarik karena keelokan negeri atau tuntutan pekerjaan. Keelokan ngarai dan garis pantai, budaya, dan keelokan penduduk negeri (wanita atau pria) merupakan daya tarik yang unik. Tetapi, faktor ini bersifat individual, tidak berkaitan dengan kekuatan atau kepeloporan negara. Selain itu, motif tuntutan pekerjaan merupakan pertimbangan personal dan bersifat kasuistik pada negara-negara yang menjadikan Indonesia sebagai basis market, pemasok bahan baku industri atau bahan bakar untuk negeri mereka. Jelas, alasan mempelajari bahasa Indonesia bukan karena pesona bahasa Indonesia itu sendiri, tetapi justru demi kepentingan negeri asal mereka. 

Hal di atas berbeda dengan peminat bahasa Indonesia, yang kebanyakan tertarik karena keelokan negeri atau tuntutan pekerjaan. Keelokan ngarai dan garis pantai, budaya, dan keelokan penduduk negeri (wanita atau pria) merupakan daya tarik yang unik. Tetapi, faktor ini bersifat individual, tidak berkaitan dengan kekuatan atau kepeloporan negara. Selain itu, motif tuntutan pekerjaan merupakan pertimbangan personal dan bersifat kasuistik pada negara-negara yang menjadikan Indonesia sebagai basis market, pemasok bahan baku industri atau bahan bakar untuk negeri mereka. Jelas, alasan mempelajari bahasa Indonesia bukan karena pesona bahasa Indonesia itu sendiri, tetapi justru demi kepentingan negeri asal mereka.

Masyarakat Indonesia sendiri tidak memiliki satu sistem bahasa yang baku. Istilah “Ejaan Yang Disempurnakan” (EYD) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanyalah instrumen yang dipergunakan untuk menciptakan koridor berbahasa Indonesia. Demikian pula peletakkan semua kode linguistik bahasa Indonesia. Struktur lisan para pengucap bahasa Indonesia berbeda-beda. Jangan samakan bahasa Indonesia orang Jakarta dengan tuturan Bahasa Indonesia orang Nusa Tenggara, Maluku, Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, Papua, atau Jawa.

Di satu sisi, penutur bahasa Indonesia telah lama terjangkiti “penyakit” menyerap kosakata baru secara cepat dansemau gue. Tidak peduli lagi dengan koridor KBBI atau EYD, kode linguistik. Kamus telah  tertinggal makna. Banyak kata-kata lama yang mulai mendapatkan makna ke-kini-an, seperti kata “demokrasi”, “pemilu”, “kerjabakti”, dan seterusnya. Kata “kerjabakti” adalah kegiatan gotong royong di kampung-kampung, sebuah citarasa khas Indonesia yang hijau 10-20 tahun silam. Makna kekinian, istilah “kerjabakti” diartikan berbeda, yakni pekerjaan yang dilakukan cuma-cuma, gratis, atau bahkan sia-sia. Makna “kerjabakti” semakin kaya. Maklum saja, bahasa Indonesia merupakan gugus tuturan yang masih muda sehingga masih aktif menyerobot makna ke sana ke mari.

Di sisi lain, “polisi bahasa” Indonesia tidak mampu membendung lalu lalang perkembangan bahasa Indonesia di media masa raksasa tanah air. Kolom-kolom tertentu di media besar itu justru membuka dialektika ke-bahasa Indonesia-an yang baru. Misalnya pada kalimat: “Budaya korupsi memberi ke(ny)amanan terhadap konglomerasi.”Model penulisan semacam ini merupakan salah satu cara pemaknaan kekinian, menyatukan makna “aman” dan “nyaman” dalam satu kata: singkat, padat, memikat. Inilah tantangan yang kedua.

Tentu saja dua hal itu tidak dapat diajarkan pada warga asing yang sedang mempelajari bahasa Indonesia. Dua tantangan itu ditambah pula dengan pergeseran paradigma bahasa Indonesia. Lihat saja  ada bahasa kekinian, EYD, ada ejaan yang belum disempurnakan, bahasa Indonesia di masa awal kemerdekaan, di masa Amir Hamzah plus Pujangga Baru, dan “bahasa Indonesia” yang masih berbentuk bahasa Melayu era Raja Ali Haji sampai zaman Hamzah Fansuri. 

Mengajukan seruan konsistensi pemakaian bahasa Indonesia sama dengan “menggarami air laut”. Sinetron dan semua tontonan audio visual justru menuturkan bahasa Indonesia kekinian. Di sinilah relevansi “adab/moralitas” berbahasa yang dulu didengungkan Raja Ali Haji. Tetapi ini tidak mudah.

Paling banter kita hanya perlu mawas diri untuk tetap mempertahankan gengsi pemakaian bahasa Indonesia dibanding pemakaian bahasa internasional lain yang semakin mencengkeram bangku-bangku akademik, seminar dan obrolan orang berkelas. Gengsi berbahasa Indonesia tidak boleh kalah dengan gengsi penguasaan bahasa asing di mimbar ilmiah, di lingkungan kerja, di lapak-lapak dunia maya. Gaung mencintai bahasa Indonesia telah lama hilang. Kini, kita malu karena orang asing lebih jatuh cinta. Masih adakah cinta bahasa Indonesia?

Mungkin saya juga belum mengetahui apakah saya mencintai bahasa Indonesia. Saya menggunakan bahasa Indonesia dan mencampuradukunya dengan bahasa sehari-hari saya atau bahasa daerah. Tetapi setelah saya membaca sebuah buku yang menjelaskan ketertarikan salah satu orang asing yang sangat bangga akan bahasa Indonesia. Saya sungguh malu, karena saya tidak dapat mencintai bahasa saya sendiri dan selalu mencampuraduknya dengan bahasa asing maupun bahasa daerah saya. Mungkin dengan menulis artikel ini saya dan teman saya dapat belajar mencintai bahasa Indonesia yang akan menjadi salah satu bahasa yang terkemuka di mata dunia.

3 comments:

Ifnu Saputra said...

Pertanyaan yang baik bagi kita sebagai warga Indonesia. Yang seharusnya bisa cinta terhadap bahasanya sendiri.

Unknown said...

Cinta Bahasa indonesia yang benar ialah, Berani berbicara bahasa indonesia

angga said...

Berbahasa indonesia yang baik dan benar ternyata memiliki makna yang sangat besar

Post a Comment

 
;